Diberdayakan oleh Blogger.

Kuliah Sastra Inggris = Jago Penerjemahan (?)

"Bahasa Inggrisnya ini apaan sih?"

"Eh ini artinya apaan dah?"

"Eh itu bule ngomong apaan? Kan lu jago Bahasa Inggris pasti bisa translate lah."

"Bantuin gue translate jurnal dong."

Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang paling gue suka dari SD karena i'm sucks at every other subjects. English is the only thing I'm quite good at. Hal ini yang akhirnya bikin gue memutuskan untuk kuliah jurusan (sekarang prodi) Sastra Inggris. Kuliah di Sastra Inggris ga lepas dari stereotype 'pasti bisa translate apa aja'. Contohnya kaya kalimat-kalimat di atas yang sering diucapin sama orang terdekat. Temen misalnya. Dari zaman masih sekolah sampe udah kuliah bahkan udah lulus sering banget. 

Yang ga orang-orang sadari adalah ga semua yang bisa Bahasa Inggris atau bahkan yang kuliah Sastra Inggris bisa menerjemahkan. Dalam hal ini, maksudnya adalah menerjemahkan dengan baik, benar, tepat, dan sesuai kaidah bahasa yang digunakan. Kalo hanya sekedar menerjemahkan secara bebas sih kayanya pasti bisa ya. Tapi yang sesuai aturan dan tepat itu yang ga semua anak Sastra Inggris bisa. 

Ada 3 aspek penerjemahan yang menentukan kualitas sebuah terjemahan yaitu accuracy (ketepatan), clarity (kejelasan), dan naturalness (kewajaran) (Larson, 1991). Singkatnya, diksi yang digunakan dalam terjemahan harus tepat. Lalu hasil terjemahan harus jelas pesan yang ingin disampaikan. Juga hasil terjemahan harus wajar atau enak untuk dibaca. Suatu terjemahan dianggap baik apabila memenuhi ketiga aspek tersebut.

Ditambah lagi penerjemahan itu banyak jenisnya. Ada penerjemahan teks hukum, penerjemahan teks sastra, penerjemahan teks bisnis, dsb. Untuk penerjemahan teks khusus seperti yang disebut sebelumnya, biasanya harus kursus dulu. Masing-masing punya pakem yang berbeda dan tekniknya pun berbeda. Jadi, penerjemah teks sastra belum tentu bisa menerjemahkan teks hukum karena teknik dan aturannya ga sama.

To be honest, my translations skill is sucks. Banyak orang yang jago ngomong pake bahasa Inggris, tapi coba suruh menerjemahkan suatu teks. Seringkali hasilnya amburadul. Sering juga gue baca hasil terjemahan gue sendiri dan reaksi gue adalah "gue ngomong apaan sih ini?". Ini membuktikan bahwa kuliah translation selama 2 semester ditambah kuliah subtitling dan Bahasa Indonesia for translator selama 1 semester ga menjamin hasil terjemahan gue bagus.

Masa ga malu lulusan Sastra Inggris ga bisa translate? Ya malu atuh. Terus gimana dong? Ya latian menerjemahkan. Caranya? Perbanyak kosakata di bahasa sumber dan bahasa sasaran. Terus banyak praktik menerjemahkan. Jangan lupa juga untuk mempelajari kaidah bahasa yang digunakan supaya memenuhi tiga aspek penerjemahan Larson tadi. Skill itu bisa dilatih kok. Semakin sering latian, hasilnya semakin baik. I won't say "practice makes perfect" because nothing is perfect. I would say "practice makes you better".

You May Also Like

0 komentar