Diberdayakan oleh Blogger.

Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 02.40. Sudah lewat sepertiga malam. Sunyi, hanya deru kipas angin yang menemaniku. Belakangan ini aku kesulitan tidur nyenyak sampai pagi. Pasti aku terbangun di atas pukul 01.30. Kemudian aku baru bisa tidur lagi setelah lewat pukul 03.30. Membuat lingkaran mataku semakin hitam seperti rakun.


Aku teringat percakapan sore akhir minggu itu dengan dia. Ya, dia yang namanya tidak sanggup kusebut. Berkali-kali aku menegaskan pada diriku sendiri, "Oh please, dia bukan Voldemort. Menyebut namanya tidak membuatmu mati seketika." Kuulang-ulang kalimat itu bagai mantra, yang ujung-ujungnya tidak begitu manjur. Sakit hatiku memberatkan lidahku untuk menyebut namanya.

"Aku minta maaf," katanya Sabtu sore itu. Sontak aku langsung mengangkat pandanganku dari cangkir kopi yang entah sudah berapa kali kuaduk. Mudah sekali dia meminta maaf. Apa dia tidak ingat yang dilakukannya? Yang membuatku kecewa melebihi marah? Yang membuatku tidak mau melihat wujudnya di radius pandanganku? Yang membuatku tak sudi mendengar apapun yang keluar dari mulutnya? Yang membuatku ingin membuatnya menyesal melakukan itu? Gila! Dipikirnya aku tidak sakit hati? Aku tidak cemburu?

"Aku tahu ini sulit. Aku harap kamu mengerti." Lalu dia beranjak dari kursi dan pergi dari coffee shop itu. Meninggalkanku sendiri. Kuurungkan niatku untuk berlari mengejarnya. Aku tidak mau percakapan ini seperti dialog sinetron remaja di TV. Kutenggak habis kopi Toraja pesananku. Sekalian saja kutelan pahitnya semua kata dan kopi ini.

Kini jamku sudah menunjukkan pukul 02.58. Jelas ini yang membuatku tidak nyenyak tidur. Aku berbicara tentangnya. Tentang rambut tebal berombaknya yang selalu menggodaku untuk kumainkan dengan jemariku. Tentang sorot mata coklat gelapnya yang seakan menenggelamkanku dalam-dalam. Tentang lengkung sabit senyumnya yang membusur dan siap meluncurkan pesonanya. Tentang tubuhnya yang terpahat dari serangkaian kegiatan fitness yang tidak pernah absen diikutinya. Tentang biceps, triceps, dan abs yang mengundang lirikan kagum perempuan yang melihatnya.

Shit! Sekarang bagaimana aku bisa tidur nyenyak jika selalu terbayang raganya? Iya, fisiknya yang sempurna itu. Yang dulu tak luput dari belaian jemariku di hampir tiap malam. Bagaimana aku bisa  tidur jika setiap aku memejamkan mata aku selalu teringat wangi parfum favoritnya? Bagaimana aku bisa konsentrasi di kantor kalau hal sesepele minum es teh tarik yang menjadi minuman favoritnya saja mengingatkanku padanya?

Tiba-tiba aku teringat kalimat dari percakapan sore itu. "Kita tidak akan pernah bisa dan boleh bersatu," katanya. Bajingan! Seandainya saja aku tidak terlahir sebagai laki-laki seperti dirinya, malam ini aku masih berada di pelukannya.

You May Also Like

2 komentar