Semangkuk Cinta dalam Puding Roti
“Itu apa?” tanya Arman saat melihat pacarnya, Rara menyantap semangkuk
makanan yang dipesannya di restoran pizza. Hari ini mereka makan siang bersama
di sela-sela jam kantor yang sedang senggang. “Ini? Puding roti coklat. Enak
deh.” Jawab Rara sembari menyendokkan puding roti dan menyodorkannya ke mulut
Arman, “Coba dulu nih.”
Arman
membuka mulutnya dan melahap suapan puding roti coklat. Kunyahan demi kunyahan
ia nikmati, tanpa sepatah kata. Rara menatap wajah Arman yang masih terdiam. “Sampe
diem gitu sih, Man? Gimana rasanya?” tanya Rara yang hanya dijawab dengan
senyuman dari Arman.
“Enak banget. Sumpah.” Akhirnya
Arman buka suara setelah menghabiskan satu suapan. Ia bahkan membuka mulutnya,
meminta Rara kembali menyuapkan puding roti untuknya. “Dulu Mama sering buatin
ini. Aku jadi pengen coba bikin deh, Man.” Ujar Rara sambil menyuapkan satu
sendok penuh untuk Arman. “Mau dong, Ra. Sekali-kali nyobain makanan buatan
kamu.” Rara nyaris tersedak mendengar permintaan Arman. Dari semua hal yang ada
di dunia ini, salah satu yang membuat Rara ketakutan setengah mati oleh
permintaan Arman adalah minta dibuatkan makanan.
Rara bisa dibilang sangat gemar
memasak, namun tidak sebanding dengan hasilnya. Terkadang tampilannya yang
menggoda tidak sebanding dengan rasanya yang terkadang kurang enak atau justru
sebaliknya. Rasanya enak namun bentuknya tidak karuan. Terakhir kali Rara
membuatkan puding karamel untuk Arman hasilnya malah hancur dan jadi seperti
bubur bayi. Rara bahkan tidak sampai hati untuk memakannya sendiri, apalagi
memberikannya pada Arman. Akhirnya Rara terpaksa membuang puding karamel itu
dan hanya bisa meminta maaf sambil menahan malu ketika Arman menanyakan.
***
Sabtu, 16.48 WIB. Rara meletakkan kantong belanjanya di meja
dapur dan mengeluarkan hasil perburuannya siang tadi. Roti tawar, susu, telur,
bubuk kayu manis, mentega, dan chocochips serta mangkuk aluminium. Hari ini
ulang tahun Arman dan mereka akan merayakan kecil-kecilan berdua di rumah Rara.
Sebagai kado, Rara ingin membuatkan puding roti seperti yang diminta Arman. Selama
seminggu terakhir Rara berkali-kali mencoba membuat puding roti yang sempurna
namun hasilnya kurang memuaskan. Kurang manis lah, kurang kering lah, kurang
macam-macam pokoknya menurut lidah Rara.
Ia memanaskan oven dan mulai
membuat bahan campurannya. Pertama, rara mencampurkan susu, gula, bubuk kayu
manis, mentega yang sudah dicairkan dan telur, lalu mengocoknya dengan whisk hingga tercampur rata. Lalu ia
memotong dadu roti tawar, kemudian memasukkannya ke dalam campuran susu dan
telur dan diaduk hingga rotinya terendam. Sementara ia menunggu campuran susu
terserap dalam roti, Rara menyiapkan mangkuk aluminium untuk wadahnya. Selanjutnya Rara mulai menuangkan campuran susu dan roti ke dalam mangkuk-mangkuk
aluminium dan menaburkan chocochips di atasnya. Setelah semua siap, Rara mulai
memanggang puding rotinya dengan teknik au
bain marie.
Tak
sampai 15 menit, puding roti coklat ala Rara sudah jadi. Rara mengeluarkannya
dari oven dan menatanya di meja makan bersama dengan pizza dan pasta yang
dipesan Rara sebelumnya. “This is for you, Man.” Ucap Rara dalam hati sambil
tersenyum. Namun senyum itu sirna dan tergantikan oleh rasa gugup yang
menghampiri. “Kok jadi deg-degan ya ngasih ke Arman? Enak ga ya? Kalo ga enak juga
kan malu banget sama Arman.” Tanyanya dalam hati. “Cobain dulu deh satu kali
ya.” Rara mengambil sendok dan mulai melahap puding roti buatannya.
Satu kunyahan, dua kunyahan,
tiga kunyahan… “Kok rasanya gini sih? Ga seenak yang waktu itu beli sama Arman.
Atasnya agak kekeringan. Coklatnya juga kurang berasa. Ah, gila makin
deg-degan.” Rara mengeluh dalam hati, setengah mati gugup karena sebentar lagi
Arman tiba dan tidak ada waktu lagi untuk membuat yang baru.
17.37 WIB. Tiga ketukan di pintu
rumahnya membuat Rara melompat dari kursinya karena jantungnya berdebar
kencang. Bahkan jauh lebih kencang dari saat Arman pertama kali mendaratkan
ciuman hangat di bibirnya. Tangan Rara gemetar saat membuka pintu dan melihat
Arman berdiri di depan pintunya, mengenakan jins hitam dan kemeja coklat
favorit Rara. Sorot mata coklat gelapnya yang tajam namun ramah membuat lutut
Rara semakin lemas dan ingin pingsan saja.
“Happy birthday, baby!” Rara
akhirnya berhasil mengumpulkan segenap tenaganya kembali dan memeluk Arman
erat. Wangi white musk khas parfum
Arman membuat rasa gugup Rara sirna. “Just don’t let me go yet, Man. Please.”
Arman tersenyum mendengar ucapan
Rara dan mempererat pelukannya. “I won’t unless you ask. Thank you ya, Sayang.”
Rara akhirnya melepas pelukannya dan mempersilahkan Arman masuk. “Man, I made
something for you. Tapi… Aku takut mau ngasihnya. Takut ga enak.” Ujar Rara
gugup sambil membuka tutup saji dan mengambil satu mangkuk puding roti untuk
Arman. “Ini puding roti coklat yang waktu itu kamu minta aku buatin.”
“Aku bahkan udah lupa aku minta
dibuatin, Ra. Just relax, I’m not Gordon Ramsey.” Canda Arman, membuat Rara
kembali tersenyum. Arman mulai menyendok penuh dan melahap puding roti itu. Seperti
adegan film yang dibuat slow motion,
setiap kunyahan membuat jantung Rara berdegup kencang sampai rasanya hampir
copot. Rara menyilangkan jarinya, memohon keajaiban yang dapat membuat puding
roti buatannya tiba-tiba terasa enak bagi Arman.
Suapan kedua, suapan ketiga,
Arman masih diam. “Man, say something. Kamu bikin aku deg-degan. Gimana rasanya?”
tanya Rara. Arman hanya melirik Rara dan melanjutkan suapannya hingga habis
satu mangkuk. “Ini enak, Ra. And you’re insecure that I won’t like it? Gosh,
this is awesome.” Akhirnya Arman buka suara setelah menghabiskan satu mangkuk
dan mengambil mangkuk kedua, yang langsung habis dalam 5 menit. Rara bahkan
sampai bengong mendengar komentar Arman. “Serius?” tanya Rara tidak percaya. “Kalo
kamu ga percaya, cobain deh.” Arman menyuapkan satu sendok penuh untuk Rara. “Iya.
Kok enakan sekarang rasanya dibanding aku cobain tadi?” Serius, Rara sampai
heran karena rasanya enak.
“Mungkin kamu nyobainnya karena
ga ada aku. Kan ada akunya yang bikin enak. Ganteng gini kok.” Canda Arman yang
disambut dengan cubitan dari Rara yang gemas dengan rasa pede Arman yang memang
kelebihan satu panci dari sang Pencipta. “Ga semua orang masak bisa langsung
enak, Ra. Jangan capek belajar masak ya. Practice makes perfect, Ra. Aku tau
kamu latian bikin ini berkali-kali. Dan aku
bisa ngerasain kamu bikin ini pake perasaan. Buatku, itu yang bikin enak.”
Rara terdiam mendengar Arman.
Mamanya pernah bilang hal yang sama padanya saat Rara menanyakan rahasia
masakan Mama yang selalu enak. Mama Rara selalu masak dengan sepenuh hatinya,
dan Rara selalu merasakan cinta Mamanya yang meluap-luap dalam setiap sendok
masakan Mamanya.
“Iya juga, ya. Pake cinta
masaknya.” Ucap Rara pada dirinya sendiri. “Berarti…. Tiap aku abis masak kamu
harus jadi orang pertama yang cobain ya, Man. Nanti kamu kasih komentar apa
yang kurang. Oke? Ya ya ya?”
“HAH??”
0 komentar